Rock In Solo 2015 resmi menginjak tahun ke-11, melewati satu
dekade pemberontakan dari anak haram kebudayaan yang bergerilya
membangun identitas festival ini sebagai festival berskala internasional
dan menjadi yang terbesar di Jawa Tengah. Nama-nama artis internasional
mewarnai perhelatan Rock In Solo beberapa tahun belakangan, seperti
Psycroptic, Dying Fetus, Cannibal Corpse, Behemoth, Hour of Penance,
Death Angel, Kataklysm, dan Carcass. Setelah digelar pertama kali pada
2004 silam, Rock In Solo terus membuktikan diri menjadi festival musik
keras yang eksis dan tetap menjaga kearifan lokal, baik dalam segi band
pengisi maupun tema acara.
Masih diingat pada beberapa edisi sebelumnya Rock In Solo menampilkan
parade Marching Band Keraton yang menegaskan wujud kecintaan pihak
penyelenggara terhadap kebudayaan Solo dan tentunya menjadi pesan
tersendiri bagi para penonton. Lama-kelamaan, selain sebagai tujuan
wisata budaya dan kuliner, Solo memiliki wisata alternatif lain, yaitu
wisata metal yang dapat dinikmati setiap tahunnya melalui Rock In Solo.
Hal ini terlihat dari kerumunan massa hitam-hitam yang berkerumun di sekitar Lapangan Parkir Stadion Manahan, yang menjadi
venue perhelatan
akbar Rock In Solo ke-9 pada Minggu (15/11). Banyak sekali penonton
yang mengenakan kaos Rock In Solo edisi-edisi sebelumnya, secara tidak
langsung menunjukkan jika Rock In Solo telah memiliki penonton setia
yang rutin datang setiap tahunnya. Namun, ada rasa miris dalam hati
ketika memasuki area
venue, dimana banyak dijumpai pedagang
kaos-kaos bajakan di luar pintu masuk. Ini sudah seperti agenda
tersendiri bagi pedagang kaos bajakan, yang kini banyak dijumpai di
berbagai konser besar di Indonesia. Padahal di dalam
venue tersedia berbagai macam suvenir metal orisinil yang menarik dari Bowsound, Belukar, Sepsis Records, dan sebagainya.
Tema
Metal Against Racism terpampang jelas di atas panggung.
Tema ini dipilih oleh pihak penyelenggara untuk memperluas jangkauan
dengan target massa yang lebih global. Bentuk kepedulian terhadap isu
kesetaraan suku, agama, ras, dan golongan disampaikan melalui tema ini.
Apalagi beberapa waktu lalu kancah musik metal Indonesia sempat
diguncang oleh isu rasisme dalam suatu konser yang mengatasnamakan
metal. Selain itu, Rock In Solo 2015 juga menjadi perayaan dibukanya
gerbang menuju era baru dari festival ini. Seperti diungkapkan oleh
salah satu Dewan Jenderal Rock In Solo dan juga pentolan Down For Life,
Stephanus Adjie. Ia mengatakan, pemilihan tema ini juga merupakan salah
satu langkah menuju era baru Rock In Solo yang lebih global.
Pemilihan
venue sendiri sebenarnya diakui dilematis oleh Adjie. “Dalam setiap helatan Rock In Solo, kami akui
venue selalu
menjadi kendala kami,” ujar Adjie. Ia mengaku, sebenarnya pihak
penyelenggara (The Think Organizer) memiliki banyak opsi untuk
venue kali
ini. Namun dengan berbagai pertimbangan kenyamanan dan izin, akhirnya
Lapangan Parkir Stadion Manahan yang menjadi pilihan. “Lapangan Parkir
Stadion Manahan kami pilih untuk menghindari debu yang sangat mengganggu
ketika tahun lalu di Benteng Vastenburg. Juga untuk menghindari lumpur
karena saat ini telah memasuki musim penghujan. Kami cukup bersyukur
dengan dipilihnya
venue ini,” lanjutnya.
Pemilihan ini dirasa tepat, terbukti para penonton kini tak lagi ragu untuk melakukan
moshing yang liar, menciptakan
wall of death, crowd surfing,
dan melompat-lompat. Berbanding terbalik dengan tahun lalu dimana
beberapa penonton memilih untuk menghindari debu dan menutupi hidung
mereka dengan masker. Riak-riak moshpit mulai tercipta di bagian depan
ketika Carnivored menunjukkan keliaran di atas panggung. Tampak Baken
Nainggolan (Hellcrust) dan David Salim (Djin) mengisi posisi gitar.
Lagu-lagu andalan dari album
No Truth Found menyerang kuping penonton secara bertubi-tubi, memancing riak
moshpit yang
semakin besar. Permainan yang kejam ditampilkan Carnivored, padu dan
harmonis. Vokal Ronald mengaum penuh amarah dan bertenaga. Sayang, di
beberapa lagu gitar David sempat mati.
Semakin sore, terik matahari mulai meredup dan
venue semakin padat. Kapasitas
venue yang tidak seluas Benteng Vastenburg membuat area di dalam sangat padat sehingga udara terasa panas. Panasnya
venue memuncak
ketika band rock oktan tinggi, Seringai mengambil alih panggung. Area
moshpit semakin liar dan brutal, terutama ketika nomor-nomor pemancing
adrenalin seperti “Skeptikal”, “Amplifier”, dan lagu yang jarang
dibawakan sebelumnya, “Infiltrasi” membombardir penonton. Berbagai
intruksi sang vokalis, Arian melalui lagu “Program Party Seringai”
diamini oleh penonton. Mereka bertubrukan badan, tertimpa kawan yang
crowd surfing, terkena hantaman siku, berlari berkeliling
moshpit, dan membelah dua bagian penonton. Tampak para personel Seringai menikmati pemandangan tersebut. Gila sekali suasana
moshpit saat
itu, seketika tubuh terasa lelah dan dahaga menyeruak setelah Seringai
menutup set-nya dengan rentetan lagu “Kilometer Terakhir”, “Dilarang Di
Bandung”, dan “Ace of Spades” dari Motörhead.
Memang seperti menjadi kerinduan tersendiri bagi
metalheads Solo
untuk menyaksikan Seringai dan Burgerkill. Cukup lama mereka menanti
kembalinya dua band ini ke kota Solo. Dan penonton pun menyambut dengan
baik sosok-sosok yang dirindukan tersebut dengan cara yang benar dan
memorable.
Para kru Burgerkill mulai naik ke atas panggung menyiapkan segala
sesuatunya. Memanfaatkan waktu senggang ini, saya menyempatkan diri
mengisi perut dan melepas dahaga di area
foodcourt sembari menyaksikan jumlah penonton yang terus bertambah.
Memasuki jam setengah lima sore, lagu “Atur Aku” dari Burgerkill membuka kembali
moshpit yang
tertunda. Karena kondisi tubuh masih belum pulih akibat "berpesta"
sebelumnya dengan Seringai, akhirnya saya memutuskan menyaksikan
Burgerkill dari baris tengah saja. Vicky Mono hari ini komunikatif
sekali, banyak membicarakan hal ini dan itu kepada penonton. Raut wajah
Agung sempat terlihat kesal ketika gitarnya tiba-tiba mati di tengah
lagu baru yang sedang dibawakan, “Undefeated”. Sesuai prediksi ketika
pertama kali mendengarkan lagu ini, gerakan-gerakan penonton di area
moshpit semakin
liar. Lagu yang kental nuansa thrash dan hardcore ini seperti menyuntik
semangat penonton. Burgerkill tampil tanpa ampun, prima seperti
biasanya dan hanya masalah teknis yang mengganggu.
“Under The Scars” yang diambil dari album
Venomous menutup
sore yang panas dan brutal hari itu. Pihak penyelenggara memberikan
waktu jeda selama 1 jam lebih sebelum dua penampil utama, Unearth dan
Nile. Kondisi ini dimanfaatkan oleh para penonton untuk mengisi ulang
energi dan beribadah bagi kaum muslim. Jeda yang panjang menjadi
strategi pihak penyelenggara untuk mengantisipasi kejadian tahun lalu,
dimana penonton sudah kehabisan energi saat Carcass tampil. Terdapat
beberapa hal berbeda dari gelaran festival Rock In Solo kali ini, salah
satunya adalah diizinkannya penonton untuk membawa segala jenis kamera
ke dalam
venue. Untungnya, penonton yang membawa kamera
profesional tidak banyak sehingga kekhawatiran akan kenyamanan menonton
tidak terwujud.
Seharusnya, band metalcore asal Australia, I Killed The Prom Queen
tampil setelah Burgerkill. Namun, mereka tertahan di Malaysia karena
promotor mereka di Malaysia (Sebelum ke Solo, mereka tampil terlebih
dahulu di Malaysia) tidak memiliki visa untuk mereka. Band kemudian
ditahan di kantor imigrasi Malaysia. “Kemungkinan kami akan ditahan di
sini selama 4-14 hari,” kicau gitaris Jona Weinhofen di Twitter. I
Killed The Prom Queen pun resmi batal tampil di Rock In Solo 2015.
Pukul 7 malam, gitaris Unearth, Buz McGrath naik ke atas panggung dan
mempersiapkan peralatan tempur band. McGrath, gitaris Ken Susi, dan
vokalis Trevor Phipps termasuk pendiri band yang masih bertahan hingga
sekarang, sementara drummer Nick Pierce baru bergabung pada 2012 dan
posisi bass diisi oleh musisi tamu, Chris O’Toole. Album-album Unearth
cukup berpengaruh terhadap perkembangan musik metal hardcore di seluruh
dunia, termasuk di Indonesia. Penampilannya di Rock In Solo menjadi kali
ketiga di Indonesia dalam setahun, setelah di Hammersonic Festival pada
Maret lalu dan Rock In Celebes sehari sebelum di Solo. Penonton tampak
sudah tidak sabar, mereka mulai berteriak-teriak, sebuah pernyataan
perang jika energi mereka sudah terkumpul kembali.
Segera saja, “Watch It Burn” menghujam penonton yang secara spontan
bergerak menghantam sekitarnya. Tata suara dalam penampilan Unearth ini
tebal dan jernih, membuat melodi-melodi yang dilancarkan McGrath dan
Susi mengalun tajam di telinga. Bahkan Trevor turut memujinya, “
Sound-nya
sangat bagus!” Strategi penyelenggara cukup berhasil sejauh ini,
penonton tak henti bergerak sepanjang penampilan Unearth. Repertoar
andalan dari album terakhir,
Watchers of Rule, “The Swarm” dan
“Never Cease” dibawakan malam itu. Cukup sulit untuk menerobos ke
barisan depan, kepadatan penonton mulai memuncak dan sulit bergerak
bebas terutama bagi yang berada di baris tengah. Rif dan melodi yang
dilancarkan duo McGrath dan Susi mengalir deras tanpa cela. Sesekali
Susi bernyanyi di beberapa bagian lagu “Last Wish” dan “Endless”.
Lingkaran besar tercipta ketika “My Will Be Done” dimainkan. Penampilan
Unearth sangat memuaskan dan jauh lebih baik ketimbang di Hammersonic
lalu. Ditunjang tata suara yang bagus dan penonton yang antusias, pesta
pun berlangsung klimaks.
Unearth menutup penampilan sarat ayunan kepalanya dengan lagu “The
Great Dividers”. Penonton kembali duduk dan menanti penampil utama
terakhir, monster
technical death metal asal AS, Nile. Sebuah
backdrop bergambar
logo Nile raksasa mulai dipasang di atas panggung, lalu gitaris Karl
Sanders, Dallas Toler-Wade, drummer George Kollias, dan bassis Brad
Parris mondar-mandir di atas panggung melakukan
line check.
Sepertinya Unearth dan Nile kompak membawa sedikit kru untuk tur di Asia
Tenggara dan Australia kali ini. Karl beberapa kali memarahi kru
panggung karena terdapat masalah pada mikrofonnya, “Hei, tolong
perhatikan! Mikrofon ini mendengking!”
Band yang baru saja merilis album baru,
What Should Not Be Unearthed ini
mulai membakar panggung dengan “Sacrifice Unto Sebek”. Brutal dan
agresif, semuanya bergerak cepat, mulai jari-jemari para gitaris dan
bassis, pukulan drum, dan hentakan double bass dari George. Teknikalitas
tinggi musik death metal bernuansa Timur Tengah yang disajikan oleh
Nile mulai merangsang penonton untuk bergerak.
Wall of death
tercipta ketika lagu yang diambil dari album baru, “In The Name of Amun”
dipresentasikan. Dallas sesekali menunjukkan ekspresi wajah bengis yang
begitu menikmati musiknya. Setelah lagu ini selesai, Karl mengalami
masalah teknis dengan gitarnya. “Saya pikir Karl merusak sesuatu. Kami
memiliki kebiasaan buruk dalam merusak barang. Biasanya George yang
senang merusak sesuatu, kali ini Karl,” ujar Dallas, tertawa. Karena
cukup lama menunggu perbaikan teknis pada gitar Karl, Dallas
berinisiatif melakukan solo gitar untuk menghibur penonton, tapi dalam
beberapa detik ia hentikan kembali. “Kami bukan tipe band yang bermain
solo, walaupun sedang bermain di festival Solo (Rock In Solo),”
candanya.
Karl tersenyum membalas perkataan beberapa penonton yang memintanya
untuk tidak merusak gitarnya lagi. Ia siap, agresi pun dilanjutkan
dengan “The Howling of The Jinn”. Strategi penyelenggara untuk menjaga
stamina penonton tampaknya tak sepenuhnya berhasil. Penonton mulai
kehabisan energi dan beberapa yang di depan memilih mundur ketika 3 lagu
terakhir mulai berjalan. Sudah tidak ada lagi gerakan-gerakan liar,
hanya dua penonton yang terus melakukan
headbang tanpa henti di
baris depan yang sudah merenggang. Bahkan, beberapa di antaranya duduk
dan tak sanggup lagi menanggapi derasnya musik Nile. Hingga akhirnya
Nile menutup Rock In Solo 2015, sekaligus membuka era baru bagi festival
ini, dengan hits “Black Seeds of Vengeance”. Terasa ada yang kurang
dengan penampilan Nile, mereka tidak memainkan lagu yang mungkin paling
terkenal di Indonesia, “Kafir!” Beberapa penonton berteriak-teriak
meminta lagu itu dimainkan namun tidak digubris. Padahal lagu ini
termasuk dari empat lagu yang selalu ada dalam
setlist mereka.
Sukacita dan euforia sepanjang konser berlangsung menjadi kunci yang
akan mengantarkan Rock In Solo untuk terus berjaya di era barunya. Tugas
Rock In Solo ke depannya adalah untuk terus mempertahankan antusias
penonton seperti ini. Berbagai pilihan band pengisi dan konsep acara
akan terus menjadi tantangan bagi pihak penyelenggara ke depannya. Patut
ditunggu, Rock In Solo 2016!