Thursday, 19 February 2015

The Impossible Dream. Sir Alex, 26 Years Made Possible


“The Impossible Dream. Sir Alex, 26 Years Made Possible,” kalimat ini terbentang di spanduk yang menghiasi Stretford End, stadion Old Trafford milik Manchester United. Sebuah spanduk penghormatan dan ucapan terima kasih atas jasa besar Sir Alex Ferguson dalam memberikan kejayaan untuk Man United selama 26 tahun melatih. 

Sir Alex Ferguson, melatih MU pertama kali pada 1986, saat itu ia mengalami kesulitan, dan beberapa musim tanpa piala hingga akhirnya mampu menjuarai piala FA pada 1990. Kisah indahnya dimulai dari sini, piala Liga menjadi rengkuhan selanjutnya pada 1992, kemudian mampu meraih titel juara liga pada musim 1992/93. Setelah itu pasukan Setan Merah di bawah asuhan Sir Alex Ferguson tidak terhentikan dan bangkit menjadi salah satu tim terbesar di dunia. Hingga musim terakhirnya di MU pada 2012/13, Sir Alex telah mempersembahkan 18 gelar juara Liga Inggris, 2 gelar Liga Champions, dan 5 piala FA. 

Mungkin berat bagi para penggemar United melihat kursi pelatih tidak lagi diisi oleh Sir Alex, apalagi bagi saya yang sejak awal menyukai United di bawah kendali Sir Alex. Sejak kecil saya mengidolakan United. Saya ingat, hal yang pertama kali membuat saya menyukai United adalah David Beckham, ketika itu jika ada tendangan bebas yang akan dieksekusi oleh Beckham, saya selalu percaya akan gol. Dan seringnya memang benar, kaki Beckham memang ajaib. 

Selain Beckham, faktor Sir Alex dan angkatan 1992-nya juga menjadi magnet kenapa saya menyukai United. Posisi Sir Alex tidak pernah goyah, ia adalah pelatih yang tegas dan keras, tetapi efektif dalam membangun klub. Kejadian ‘sepatu terbang’ pada 2003 benar-benar membuat saya terpukul, karena mungkin hal ini yang menjadi penyebab Beckham pindah ke Real Madrid di musim selanjutnya. Setelah kalah 0-2 dari Arsenal, Fergie geram dan menendang sepatu di ruang ganti, tanpa disengaja ternyata sepatu itu mengenai pelipis Beckham. 

Media pun langsung heboh dan kisah ‘sepatu terbang’ naik ke permukaan, desas desus Beckham pergi akhirnya benar, sang idola pun tak lagi di klub kesayangan. Sir Alex kemudian mendapatkan suntikan baru dalam tim, menghadirkan Wayne Rooney dan Cristiano Ronaldo, yang mampu mengembalikan kejayaan United setelah beberapa musim direbut Arsenal. 

Insting Fergie dalam membeli pemain memang hebat, walau beberapa di antaranya ada yang tidak berguna, contohnya Bebe. Tapi, ia mampu menghadirkan pemain-pemain seperti Edwin Van Der Sar, Nemanja Vidic, Rio Ferdinand, Patrice Evra, Michael Carrick, dan Carlos Tevez yang menjadi pilar penting dalam menjaga konsistensi United. Patut disayangkan United harus kalah dua kali di Final Liga Champions melawan Barcelona, benar-benar lawan yang tangguh dan harus dibalas di kemudian hari nanti. 

Gelar demi gelar yang diraih Fergie seperti memberikan rasa tenang bagi para penggemar United, lama kelamaan meraih juara itu terasa biasa. Mungkin seperti Michael Schumacher ketika masa jayanya di Ferrari. Apalagi ketika gelar ke-19 resmi direngkuh dan mengukuhkan United sebagai raja baru di Inggris, menggeser Liverpool dengan 18 gelarnya. Padahal pada awal ia melatih United, perbandingan gelar juara Liga Inggris antara United dan Liverpool adalah 7-16. Luar biasa! 

Kini, sang pelatih tak lagi menukangi United, keputusan telah ia buat untuk pensiun pada 2013 lalu. Tak hanya penggemar yang kecewa, bahkan Robin Van Persie pun mengungkapkan kekecewaannya. Penggantinya, David Moyes gagal total, dan saat ini Louis Van Gaal belum memberikan jaminan yang pasti untuk mengembalikan United ke dalam kejayaan. Mungkin keinginan Wayne Rooney beberapa musim sebelum ini untuk pindah akan terlaksana, mungkin United benar-benar butuh ketajaman seperti yang dimiliki Eric Cantona, Ruud Van Nistelrooy, Andy Cole, Dimitar Berbatov, atau Robin Van Persie di musim ketika Sir Alex masih melatih. Sulit mengharapkan Wayne Rooney bisa kembali ke masa dimana ia masih dijuluki wonderkid dan selalu bisa diandalkan di depan gawang.

Memang terkadang gaya bermain yang disajikan United era Fergie bukanlah permainan sepak bola menawan seperti kebanyakan tim sepak bola modern saat ini. Namun, efektifitas adalah kunci kejayaan United bersama Fergie. Beberapa ciri khas dari gaya melatih Fergie yang takkan terlupakan adalah hairdryer treatment, sebuah istilah bagaimana Fergie 'menangani' ruang ganti United ketika keadaan di lapangan sedang buruk. Lalu, Fergie's Time yang selalu mengingatkan United untuk tidak menyerah hingga peluit tanda permainan berakhir berbunyi. Dan tentunya julukan The Comeback Kings, menunjukkan mental United yang sudah sangat terasah dan sering mengembalikan keadaan.

Bagaimanapun, Sir Alex telah meninggalkan warisan yang sangat berharga untuk United, kegigihan dan kepiawannya dalam melatih United selalu menjadi inspirasi bagi saya dan semua penggemar United. Be well and thanks a lot, Boss!

Tom Clancy's Splinter Cell® Blacklist™











Game seri Tom Clancy memang tidak pernah mengecewakan, begitulah kira-kira perasaan ketika menyelesaikan game Splinter Cell: Blacklist hingga tamat. Kali ini Sam Fisher (tokoh utama) tidak bekerja hanya dibantu oleh Anna Grimsdottir, tetapi memiliki tim yang terdiri dari ahli peretas, Charlie Cole dan prajurit yang membantu Fisher di lapangan, Isaac Briggs.

Kelompok Fisher bermarkas di sebuah pesawat bernama Paladin, dimana semua komando misi diarahkan dari sini dalam memburu musuh terbaru mereka, Blacklist.

Game garapan Ubisoft ini menghadirkan visual yang cukup realistis dan dinamis, tidak heran karena Splinter Cell: Blacklist menggunakan mesin Unreal Engine. Selain visual yang nyaman di mata, gameplay pun tak jauh beda dengan Splinter Cell: Conviction, dimana Fisher dapat membawa beberapa senjata, gadget, dan melakukan ‘eksekusi’ yang menjadi ciri khas game ini.

Fitur yang berbeda adalah pesawat Paladin yang dapat di-upgrade, yang dapat memberikan senjata-senjata ekstra atau kebutuhan lainnya yang sangat membantu dalam misi. Selain itu, Fisher juga dapat mengatur kustomisasi dari Ops-Suit yang digunakan, bisa menggunakan kostum khusus stealth atau untuk perang terbuka. Terdapat berbagai macam senjata yang bisa dibeli di pesawat dan upgrade google yang biasa digunakan Fisher.

Musuh-musuh Fisher di Splinter Cell: Blacklist tidak semuanya dapat ditembak di kepala, karena beberapa ada yang menggunakan helm pelindung atau heavy infantry yang menggunakan armor tebal. Di beberapa misi juga Fisher akan menghadapi anjing yang dapat melacak keberadaannya dan drone yang bisa self destruct. Mengingatkan kembali ke game FPS tersohor, Call of Duty.

Misi-misi yang dijalani Fisher tersebar di seluruh dunia, player akan merasakan lokasi yang berbeda-beda, mulai dari Asia, Eropa, hingga Amerika. Masing-masing anggota tim juga akan memberikan side mission yang memiliki karakteristik atau cara penyelesaian sendiri.

Memang telat bagi saya memainkannya, tetapi benar-benar game yang menyenangkan. Tidak perlu mengejar status Ghost untuk menyelesaikan misi, karena hal yang menyenangkan datang ketika menghadapi musuh secara langsung. Overall, cerita dan grafiknya mantap, patut dinanti petualangan selanjutnya dari Fisher dalam mengejar dalang di balik Blacklist.

Wednesday, 18 February 2015

Live Review: Avenged Sevenfold (Jakarta, 2015)

Minggu, 18 Januari 2015. Parkir Timur Senayan, Jakarta.

Mengalami perubahan arah musik dan juga kehilangan besar setelah drummer yang juga penulis lagu, James “The Rev” Sullivan wafat, ternyata tak mampu mengurangi kesetiaan penggemar Avenged Sevenfold di Indonesia. Area Parkir Timur Senayan menjadi saksi bagaimana antusiasme para penggemar Avenged Sevenfold yang rela mengantri di pintu masuk venue sejak sore.


Di luar dugaan, ternyata tidak hanya anak-anak muda yang datang untuk melihat langsung aksi kuintet metal asal AS tersebut, tampak orang-orang dewasa pun tak mau kalah. Bahkan musisi senior, Ikang Fawzi terlihat di antara kerumunan para penonton.

Pukul 20.00 WIB, massa hitam-hitam di depan panggung yang telah menanti penampilan M. Shadows (vokal), Synyster Gates (gitar), Zacky Vengeance (gitar), Johnny Christ (bass), dan Arin Ilejay (drum) ini dikejutkan dengan lagu “Indonesia Raya” yang tiba-tiba berkumandang. Kemudian Avenged Sevenfold seperti ingin memperjelas musisi yang mempengaruhi mereka kepada penonton, dengan menyalakan musik Metallica “Ride The Lightning”, Pantera “Walk”, dan AC/DC “Back In Black” secara berturut-turut sebagai bagian pembuka konser.

Urutan dan jumlah lagu yang dimainkan Avenged Sevenfold malam itu bukanlah sebuah kejutan, karena sama persis dengan apa yang mereka mainkan di Seoul, Hong Kong, dan Taipei. “Shepherd of Fire” yang diambil dari album Hail To The King mengawali penampilan penuh energi dari band sepanjang konser. Para personil tampak tak lelah menjelajah setiap sudut panggung, kecuali drummer Arin Ilejay tentunya.

Konser pertama bagi Arin di Indonesia ternyata tak cukup mulus, tampak seorang penonton di bagian depan membawa poster yang mengejek Arin bertuliskan, “Saya dapat bermain drum lebih baik dari Arin.” Namun hal itu tak mengganggu permainannya, Arin mampu mengisi posisi The Rev dengan baik dan juga menunjukkan antusiasme dalam memainkan drum yang ekspresif, sayangnya pukulan drum yang ia isi untuk album Hail To The King kurang variatif.

Beralih ke lagu “Critical Acclaim”, duo gitaris Synyster Gates dan Zacky Vengeance menyuguhkan permainan harmoni ditemani double pedal yang konstan dari Arin. Duet Synyster dan Zacky dalam memainkan teknik dual gitar memang sudah menjadi ciri khas band selama ini. Penonton tak bisa diam saja melihat penampilan seperti itu, tampak semuanya berjingkrak dan memberikan kepalan tangan ke udara.

“Kami mendapatkan insiden ketika terakhir kali ke sini (konser mereka di Jakarta pada 2012 lalu harus dibatalkan), kini kami akan memberikan semuanya! Lagu ini untuk seluruh keluarga Avenged Sevenfold di dunia,” ujar Shadows yang diikuti pukulan drum Arin mengawali lagu “Welcome To The Family”. Tampak visual logo tengkorak dengan sayap kelelawar raksasa (biasa disebut deathbat) di layar dengan latar bendera Indonesia menghiasi lagu ini.

Promotor Dyandra Entertainment patut diacungi jempol dengan produksi panggung yang megah dan mewah, layar LED raksasa di belakang panggung dan di samping kiri serta kanan, tata cahaya yang menawan, dan produksi suara yang menggelegar. Sebuah mobil pemadam kebakaran rajin menembakkan air ke ribuan penonton yang merasa gerah dan panitia pun rajin melempar air mineral kepada penonton.

“Pertama kalinya kami ke wilayah Asia Tenggara adalah ke Jakarta, dan tempat ini selalu menjadi favorit kami,” ujar M. Shadows. Berturut-turut lagu “Hail To The King” dan “Beast & The Harlots” dimainkan, lalu dilanjutkan sebuah lagu balada “Buried Alive” yang Metallica-esque. Riff di bagian akhir lagu ini mengingkatkan ke lagu instrumental Metallica, “Orion”. Masih dalam suasana yang tenang, lagu terkenal “Seize The Day” dimainkan, sontak para penonton ikut bernyanyi dan menggerakkan tangan di udara.

Daftar lagu yang dimainkan Avenged Sevenfold malam itu dapat dibilang ‘aman’ bagi para penggemar, karena berbagai hits turut dimainkan seperti “Nightmare” yang dengan galak menghujam penonton dengan riff-riff yang agresif dan berat, lalu “Chapter Four”, “Almost Easy”, dan “Afterlife”. Sang gitaris Synyster Gates sempat memainkan solo gitar di tengah konser, menunjukkan gerakan jari jemarinya yang sangat cepat berpindah fret, ia memainkan teknik-teknik gitar seperti sweeping, lick, tapping, dan petikan gitar yang cepat.

Salah satu bagian menarik dalam konser ini adalah ketika lagu “This Means War” dimainkan, lagu yang terdengar mirip dengan “Sad But True” milik Metallica. Bahkan M. Shadows turut menggunakan kata, “Do you want something heavy?” ketika akan memainkan lagu ini mirip dengan apa yang biasa dikatakan pentolan Metallica, James Hetfield. M. Shadows sendiri mengakui jika “This Means War” memang sangat terinspirasi oleh “Sad But True”.

Sebuah melankolia, “Acid Rain” yang berasal dari album Hail To The King kemudian dimainkan dan seperti menjadi momen untuk beristirahat sebelum encore. Benar saja, encore malam itu diawali lagu yang melambungkan nama band di awal karirnya, “Unholy Confessions”. Lagu yang diambil dari album Waking The Fallen ini mampu memecah moshpit di beberapa bagian penonton dilanjutkan “Bat Country” yang masih bertempo cepat.

Encore kedua sekaligus penutup konser, Avenged Sevenfold membawakan sebuah lagu unik yang terdengar seperti lagu karnaval bernuansa gothic, “A Little Piece of Heaven”. Tiga lagu yang tepat untuk sebuah encore, dimana seluruh energi penonton benar-benar dimaksimalkan di bagian akhir. Secara keseluruhan penonton takkan merasa merugi telah membeli tiket. Akhir menyenangkan untuk sebuah konser yang megah.

Wawancara Eksklusif: Synyster Gates (Avenged Sevenfold)


Apabila Anda melihat penampilan Avenged Sevenfold, baik secara live atau melalui YouTube, mungkin Anda tidak dapat mengabaikan permainan gitar yang disajikan sang gitaris, Synyster Gates atau yang bernama asli Brian Elwin Haner, Jr. Gates memang terkenal dengan permainan gitar solonya yang menjadi ciri khas tersendiri bagi musik Avenged Sevenfold.

Ia dan rekan gitarisnya, Zacky Vengeance menjadi komponen utama bagi musik band. Bahkan, mereka berdua pernah mendapatkan penghargaan Revolver Golden God untuk kategori Best Guitarist. Gates sendiri masuk ke dalam daftar 30 gitaris terbaik versi majalah Guitar World pada 2010.

Pada Sabtu (17/01) kemarin, Avenged Sevenfold melakukan konferensi pers untuk konser yang digelar Minggu (18/01) lalu di Parkir Timur Senayan, Jakarta. Seusai konferensi pers, saya mewakili Rolling Stone berkesempatan melakukan wawancara eksklusif dengan Synyster Gates.

Dalam konferensi pers M. Shadows mengonfirmasi rencana untuk merilis album tahun depan. Bisakah Anda jelaskan sedikit tentang rencana album baru?
Baik, itu sulit untuk dijelaskan, karena kami memiliki beberapa mimpi untuk album selanjutnya. Tapi, Anda tidak akan pernah tahu sampai Anda duduk bersama dan mengeluarkan semua ide. Hal itu yang terjadi di album Hail To The King, kami mencoba untuk mengerjakan sesuatu, tapi selama dua minggu kami merasa bosan. Fuck! Untuk membuat album kami harus duduk bersama dan melakukan curah gagasan yang menghasilkan ide bagus, sesuatu yang membuat kami bersemangat dan ‘lapar’ setiap harinya. Itulah yang ingin kami lakukan dalam mengerjakan album, kami harus menunggu hingga benar-benar mendapat inspirasi.

Album Hail To The King terdengar sangat dipengaruhi oleh Metallica dan Black Sabbath, bagaimana musik Avenged Sevenfold ke depannya?
Seperti yang saya katakan, kami harus menunggu idenya. Kami ingin membuat sesuatu yang sedikit aktual, tapi kami tidak tahu. Saya mendapat waktu yang bagus ketika mengerjakan album terakhir (Hail To The King), saya belajar banyak dalam menulis lagu. Jadi, saya berharap dapat belajar lebih banyak dalam menulis lagu, melakukan sesuatu yang berbeda. Saya telah belajar banyak mengenai penulisan lagu dan musik klasik dibandingkan sebelumnya, juga dari semua album yang telah kami kerjakan. Itu merupakan pengalaman yang paling penting bagi saya. Jadi, saya ingin terus mengembangkan pengalaman itu, tetapi harus memperhatikan lagu-lagu apa yang harus kami dengarkan atau tidak kami dengarkan. Lagu-lagunya harus mampu membuat kami bersemangat dalam menghasilkan album.

Apakah produksi album baru nanti akan sama dengan Hail To The King?
Saya benar-benar belum tahu mengenai hal itu. Tapi yang saya tahu kami akan kembali bekerja dengan Mike Elizondo (produser album Nightmare, Hail To The King). Ia merupakan sosok yang menginspirasi, pemimpin yang baik, dan mampu mengatur komunikasi dengan sangat baik. Jadi, ia adalah sosok yang paling cocok untuk mengerjakannya.

Tahun lalu Avenged Sevenfold merilis ulang edisi spesial dari album Waking The Fallen, apakah ini menjadi pertanda jika band merindukan musik di album tersebut?
Tidak, itu hanya tentang waktu untuk merilisnya kembali, banyak band yang melakukan itu. Kami hanya ingin merilisnya kembali setelah beberapa tahun. Kami ingin memiliki rekaman berkadar tinggi yang dapat bertahan lama dan jika Anda percaya diri maka Anda dapat merilis album lainnya.

Zakk Wylde dari Black Label Society pernah mengatakan jika Anda adalah panutan para anak muda saat ini untuk bermain gitar solo, apa pendapat Anda?
Sebuah kehormatan bagi saya, ia adalah salah satu idola saya. Saya tahu ia adalah ‘dewa’ gitar. Ia memiliki catatan sejarah yang baik dalam komunitas metal, mulai dari Ozzy (Osbourne) hingga di Black Label Society. Benar-benar sebuah kehormatan bagi saya jika ia mengatakannya. Terima kasih banyak!

Siapa yang menginspirasi Anda untuk bermain gitar pertama kali?
Mungkin ayah saya (Brian Haner, Sr.). Ia adalah seorang musisi, selalu dekat dengan musik, bermain musik, dan melakukan tur konser. Ia bermain musik bersama musisi-musisi hebat seperti Frank Zappa, Rose Royce, musisi-musisi idola saya. Hal itu yang membuat saya ingin bermain gitar. Kemudian saya bertemu mereka (Avenged Sevenfold) yang memberikan kesempatan bagi saya bermain gitar.

Musik apa yang ayah Anda mainkan?
Ia dapat memainkan jenis musik apa saja. Ia seorang musisi rock, tapi bisa shredding, memainkan musik jazz yang hebat, ia juga salah seorang pemain ritem terbaik.

Avenged Sevenfold kabarnya akan merilis DVD, bisa diceritakan mengenai DVD tersebut?
Ya, itu sebuah DVD live dan perkembangan band yang akan memperlihatkan masa-masa sebelum kepergian Jimmy (James ‘The Rev’ Sullivan), juga transisi dari masa itu ke masa selanjutnya. Akan ada juga cuplikan-cuplikan behind the scene yang keren dan menyenangkan.

Tahun lalu, kalian terlihat sibuk dengan perilisan game Hail To The King: Deathbat, bahkan merilis sebuah controller untuk para pemain gim. Apakah ada rencana untuk merilis game lain ke depannya, misalnya untuk Playstation atau Xbox?
Itu akan keren, tapi saya kurang tahu. Matt (Shadows, vokalis) yang senang bermain gim, ia yang mengerti. Tapi menyenangkan untuk melihat bagaimana ia mengembangkan game itu selama dua tahun dengan hasrat besarnya. Semua tekanan membebani pundaknya ketika mengerjakan game itu. Semua hasilnya dapat kita lihat sekarang.

Ini keempat kalinya Anda mengunjungi Indonesia, bagaimana perasaan Anda?
Saya adalah seorang penggemar berat Indonesia. Saya makan nasi goreng untuk sarapan, bahkan ketika saya di Korea dan dimanapun, saya sangat menyukainya. Saat pertama kali ke sini, saya makan daging ular kobra dan kemudian saya datang ke Bali untuk bulan madu. Indonesia benar-benar tempat yang indah, saya sangat senang untuk berselancar di sini, salah satu lokasi berselancar terbaik dalam sejarah. Benar-benar tempat terbaik di dunia, untuk makan, minum, berselancar, dan bersama seseorang yang saya cintai.

Setelah menyelesaikan tur konser Asia Tenggara ini, apa rencana band selanjutnya?
Kami akan pulang ke rumah untuk berlibur dan memainkan beberapa konser, namun bukan tur konser yang besar.

Ada saran bagi para anak muda Indonesia yang ingin bermain gitar?
Ya, tentu saja. Terus belajar dan kembangkan kemampuan. Jika Anda ingin mengembangkan struktur gitar, mengembangkan permainan gitar ritem, lead, dan semacamnya maka bukalah YouTube, ada banyak pelajaran gitar di sana. YouTube merupakan salah satu proses dalam mengembangkan kemampuan bermain gitar saat ini. Saya harap dapat membuat video (bermain gitar) lagi yang lebih baik dibandingkan yang sebelumnya, tapi tidak tahu kapan. Anda tahu, banyak hal yang gratis di YouTube. Saya pun mulai giat belajar lagi selama 2-3 tahun ini. Cek saja video-video pelajaran gitar di YouTube dan dengar wawancara para gitaris.

http://rollingstone.co.id/read/2015/01/20/141054/2808413/1095/qa-synyster-gates--avenged-sevenfold-

At The Gates, The Return of The Kings


Untuk menandai blog baru lagi ini, maka untuk pertama kali mari bahas tentang kembalinya sang legenda Swedish Melodic Death Metal asal Gothenburg, At The Gates. Kenapa disebut kembali? Memang mereka telah melakukan reuni sejak Wacken 2008, namun album baru yang dinanti tak kunjung tiba. Hingga akhirnya pada 2014 lalu, mereka resmi melepas sebuah album berjudul At War With Reality.

Sebagai anak yang tumbuh di era millenium, saya belum mengenal At The Gates pada awal mula musik metal menjamah saya. Caliban-lah yang memperkenalkan mereka setelah membawakan lagu "Blinded By Fear" milik At The Gates dari album Slaughter of The Soul. Karena menyukai lagu itu, akhirnya saya cari tahu tentang At The Gates, terungkaplah jika Slaughter of The Soul adalah sebuah masterpiece yang menjadi barometer musik metalcore saat ini. Caliban, As I Lay Dying, Killswitch Engage, merupakan di antaranya band-band yang mengadopsi musik ini.

Slaughter of The Soul dirilis pada 1995 dan mendapat respon yang luar biasa, sayang At The Gates setelah itu bubar dan tidak pernah ada tanda-tanda akan reuni dan merilis album baru. Namun, semua penantian itu telah usai, 13 lagu baru disajikan oleh At The Gates dalam album At War With Reality. Mungkin album ini memang terdengar seperti Slaughter of The Soul part 2, tetapi intensitas yang diberikan tidaklah berkurang. Patut diapresiasi usaha At The Gates untuk mengingatkan para penggemarnya jika mereka telah kembali.



Vokal Tomas Lindberg menyeruak dengan khas, permainan gitar Anders Björler dan Martin Larsson menegaskan bagaimana seharusnya musik melodic death metal asal Gothenburg terdengar, dilengkapi betotan bas dari Jonas Björler dan pukulan drum Adrian Erlandsson. At The Gates telah kembali, salah satu dari tiga founding fathers musik Swedish Melodic Death Metal bersama Dark Tranquillity dan In Flames ini telah kembali.

Ini menjadi penyegaran untuk para penggemar musik jenis ini, ketika In Flames mulai melemah dan semakin lembek di album Siren Charms, At The Gates hadir untuk menjawab kekhawatiran para penggemar.