Sunday, 24 April 2016
Live Review: Rock In Solo 2015
jovieyordan
14:01
No comments
Rock In Solo 2015 resmi menginjak tahun ke-11, melewati satu dekade pemberontakan dari anak haram kebudayaan yang bergerilya membangun identitas festival ini sebagai festival berskala internasional dan menjadi yang terbesar di Jawa Tengah. Nama-nama artis internasional mewarnai perhelatan Rock In Solo beberapa tahun belakangan, seperti Psycroptic, Dying Fetus, Cannibal Corpse, Behemoth, Hour of Penance, Death Angel, Kataklysm, dan Carcass. Setelah digelar pertama kali pada 2004 silam, Rock In Solo terus membuktikan diri menjadi festival musik keras yang eksis dan tetap menjaga kearifan lokal, baik dalam segi band pengisi maupun tema acara.
Masih diingat pada beberapa edisi sebelumnya Rock In Solo menampilkan parade Marching Band Keraton yang menegaskan wujud kecintaan pihak penyelenggara terhadap kebudayaan Solo dan tentunya menjadi pesan tersendiri bagi para penonton. Lama-kelamaan, selain sebagai tujuan wisata budaya dan kuliner, Solo memiliki wisata alternatif lain, yaitu wisata metal yang dapat dinikmati setiap tahunnya melalui Rock In Solo.
Hal ini terlihat dari kerumunan massa hitam-hitam yang berkerumun di sekitar Lapangan Parkir Stadion Manahan, yang menjadi venue perhelatan akbar Rock In Solo ke-9 pada Minggu (15/11). Banyak sekali penonton yang mengenakan kaos Rock In Solo edisi-edisi sebelumnya, secara tidak langsung menunjukkan jika Rock In Solo telah memiliki penonton setia yang rutin datang setiap tahunnya. Namun, ada rasa miris dalam hati ketika memasuki area venue, dimana banyak dijumpai pedagang kaos-kaos bajakan di luar pintu masuk. Ini sudah seperti agenda tersendiri bagi pedagang kaos bajakan, yang kini banyak dijumpai di berbagai konser besar di Indonesia. Padahal di dalam venue tersedia berbagai macam suvenir metal orisinil yang menarik dari Bowsound, Belukar, Sepsis Records, dan sebagainya.
Tema Metal Against Racism terpampang jelas di atas panggung. Tema ini dipilih oleh pihak penyelenggara untuk memperluas jangkauan dengan target massa yang lebih global. Bentuk kepedulian terhadap isu kesetaraan suku, agama, ras, dan golongan disampaikan melalui tema ini. Apalagi beberapa waktu lalu kancah musik metal Indonesia sempat diguncang oleh isu rasisme dalam suatu konser yang mengatasnamakan metal. Selain itu, Rock In Solo 2015 juga menjadi perayaan dibukanya gerbang menuju era baru dari festival ini. Seperti diungkapkan oleh salah satu Dewan Jenderal Rock In Solo dan juga pentolan Down For Life, Stephanus Adjie. Ia mengatakan, pemilihan tema ini juga merupakan salah satu langkah menuju era baru Rock In Solo yang lebih global.
Pemilihan venue sendiri sebenarnya diakui dilematis oleh Adjie. “Dalam setiap helatan Rock In Solo, kami akui venue selalu menjadi kendala kami,” ujar Adjie. Ia mengaku, sebenarnya pihak penyelenggara (The Think Organizer) memiliki banyak opsi untuk venue kali ini. Namun dengan berbagai pertimbangan kenyamanan dan izin, akhirnya Lapangan Parkir Stadion Manahan yang menjadi pilihan. “Lapangan Parkir Stadion Manahan kami pilih untuk menghindari debu yang sangat mengganggu ketika tahun lalu di Benteng Vastenburg. Juga untuk menghindari lumpur karena saat ini telah memasuki musim penghujan. Kami cukup bersyukur dengan dipilihnya venue ini,” lanjutnya.
Pemilihan ini dirasa tepat, terbukti para penonton kini tak lagi ragu untuk melakukan moshing yang liar, menciptakan wall of death, crowd surfing, dan melompat-lompat. Berbanding terbalik dengan tahun lalu dimana beberapa penonton memilih untuk menghindari debu dan menutupi hidung mereka dengan masker. Riak-riak moshpit mulai tercipta di bagian depan ketika Carnivored menunjukkan keliaran di atas panggung. Tampak Baken Nainggolan (Hellcrust) dan David Salim (Djin) mengisi posisi gitar. Lagu-lagu andalan dari album No Truth Found menyerang kuping penonton secara bertubi-tubi, memancing riak moshpit yang semakin besar. Permainan yang kejam ditampilkan Carnivored, padu dan harmonis. Vokal Ronald mengaum penuh amarah dan bertenaga. Sayang, di beberapa lagu gitar David sempat mati.
Semakin sore, terik matahari mulai meredup dan venue semakin padat. Kapasitas venue yang tidak seluas Benteng Vastenburg membuat area di dalam sangat padat sehingga udara terasa panas. Panasnya venue memuncak ketika band rock oktan tinggi, Seringai mengambil alih panggung. Area moshpit semakin liar dan brutal, terutama ketika nomor-nomor pemancing adrenalin seperti “Skeptikal”, “Amplifier”, dan lagu yang jarang dibawakan sebelumnya, “Infiltrasi” membombardir penonton. Berbagai intruksi sang vokalis, Arian melalui lagu “Program Party Seringai” diamini oleh penonton. Mereka bertubrukan badan, tertimpa kawan yang crowd surfing, terkena hantaman siku, berlari berkeliling moshpit, dan membelah dua bagian penonton. Tampak para personel Seringai menikmati pemandangan tersebut. Gila sekali suasana moshpit saat itu, seketika tubuh terasa lelah dan dahaga menyeruak setelah Seringai menutup set-nya dengan rentetan lagu “Kilometer Terakhir”, “Dilarang Di Bandung”, dan “Ace of Spades” dari Motörhead.

Memang seperti menjadi kerinduan tersendiri bagi metalheads Solo untuk menyaksikan Seringai dan Burgerkill. Cukup lama mereka menanti kembalinya dua band ini ke kota Solo. Dan penonton pun menyambut dengan baik sosok-sosok yang dirindukan tersebut dengan cara yang benar dan memorable. Para kru Burgerkill mulai naik ke atas panggung menyiapkan segala sesuatunya. Memanfaatkan waktu senggang ini, saya menyempatkan diri mengisi perut dan melepas dahaga di area foodcourt sembari menyaksikan jumlah penonton yang terus bertambah.
Memasuki jam setengah lima sore, lagu “Atur Aku” dari Burgerkill membuka kembali moshpit yang tertunda. Karena kondisi tubuh masih belum pulih akibat "berpesta" sebelumnya dengan Seringai, akhirnya saya memutuskan menyaksikan Burgerkill dari baris tengah saja. Vicky Mono hari ini komunikatif sekali, banyak membicarakan hal ini dan itu kepada penonton. Raut wajah Agung sempat terlihat kesal ketika gitarnya tiba-tiba mati di tengah lagu baru yang sedang dibawakan, “Undefeated”. Sesuai prediksi ketika pertama kali mendengarkan lagu ini, gerakan-gerakan penonton di area moshpit semakin liar. Lagu yang kental nuansa thrash dan hardcore ini seperti menyuntik semangat penonton. Burgerkill tampil tanpa ampun, prima seperti biasanya dan hanya masalah teknis yang mengganggu.
“Under The Scars” yang diambil dari album Venomous menutup sore yang panas dan brutal hari itu. Pihak penyelenggara memberikan waktu jeda selama 1 jam lebih sebelum dua penampil utama, Unearth dan Nile. Kondisi ini dimanfaatkan oleh para penonton untuk mengisi ulang energi dan beribadah bagi kaum muslim. Jeda yang panjang menjadi strategi pihak penyelenggara untuk mengantisipasi kejadian tahun lalu, dimana penonton sudah kehabisan energi saat Carcass tampil. Terdapat beberapa hal berbeda dari gelaran festival Rock In Solo kali ini, salah satunya adalah diizinkannya penonton untuk membawa segala jenis kamera ke dalam venue. Untungnya, penonton yang membawa kamera profesional tidak banyak sehingga kekhawatiran akan kenyamanan menonton tidak terwujud.
Seharusnya, band metalcore asal Australia, I Killed The Prom Queen tampil setelah Burgerkill. Namun, mereka tertahan di Malaysia karena promotor mereka di Malaysia (Sebelum ke Solo, mereka tampil terlebih dahulu di Malaysia) tidak memiliki visa untuk mereka. Band kemudian ditahan di kantor imigrasi Malaysia. “Kemungkinan kami akan ditahan di sini selama 4-14 hari,” kicau gitaris Jona Weinhofen di Twitter. I Killed The Prom Queen pun resmi batal tampil di Rock In Solo 2015.
Pukul 7 malam, gitaris Unearth, Buz McGrath naik ke atas panggung dan mempersiapkan peralatan tempur band. McGrath, gitaris Ken Susi, dan vokalis Trevor Phipps termasuk pendiri band yang masih bertahan hingga sekarang, sementara drummer Nick Pierce baru bergabung pada 2012 dan posisi bass diisi oleh musisi tamu, Chris O’Toole. Album-album Unearth cukup berpengaruh terhadap perkembangan musik metal hardcore di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Penampilannya di Rock In Solo menjadi kali ketiga di Indonesia dalam setahun, setelah di Hammersonic Festival pada Maret lalu dan Rock In Celebes sehari sebelum di Solo. Penonton tampak sudah tidak sabar, mereka mulai berteriak-teriak, sebuah pernyataan perang jika energi mereka sudah terkumpul kembali.
Segera saja, “Watch It Burn” menghujam penonton yang secara spontan bergerak menghantam sekitarnya. Tata suara dalam penampilan Unearth ini tebal dan jernih, membuat melodi-melodi yang dilancarkan McGrath dan Susi mengalun tajam di telinga. Bahkan Trevor turut memujinya, “Sound-nya sangat bagus!” Strategi penyelenggara cukup berhasil sejauh ini, penonton tak henti bergerak sepanjang penampilan Unearth. Repertoar andalan dari album terakhir, Watchers of Rule, “The Swarm” dan “Never Cease” dibawakan malam itu. Cukup sulit untuk menerobos ke barisan depan, kepadatan penonton mulai memuncak dan sulit bergerak bebas terutama bagi yang berada di baris tengah. Rif dan melodi yang dilancarkan duo McGrath dan Susi mengalir deras tanpa cela. Sesekali Susi bernyanyi di beberapa bagian lagu “Last Wish” dan “Endless”. Lingkaran besar tercipta ketika “My Will Be Done” dimainkan. Penampilan Unearth sangat memuaskan dan jauh lebih baik ketimbang di Hammersonic lalu. Ditunjang tata suara yang bagus dan penonton yang antusias, pesta pun berlangsung klimaks.
Unearth menutup penampilan sarat ayunan kepalanya dengan lagu “The Great Dividers”. Penonton kembali duduk dan menanti penampil utama terakhir, monster technical death metal asal AS, Nile. Sebuah backdrop bergambar logo Nile raksasa mulai dipasang di atas panggung, lalu gitaris Karl Sanders, Dallas Toler-Wade, drummer George Kollias, dan bassis Brad Parris mondar-mandir di atas panggung melakukan line check. Sepertinya Unearth dan Nile kompak membawa sedikit kru untuk tur di Asia Tenggara dan Australia kali ini. Karl beberapa kali memarahi kru panggung karena terdapat masalah pada mikrofonnya, “Hei, tolong perhatikan! Mikrofon ini mendengking!”
Band yang baru saja merilis album baru, What Should Not Be Unearthed ini mulai membakar panggung dengan “Sacrifice Unto Sebek”. Brutal dan agresif, semuanya bergerak cepat, mulai jari-jemari para gitaris dan bassis, pukulan drum, dan hentakan double bass dari George. Teknikalitas tinggi musik death metal bernuansa Timur Tengah yang disajikan oleh Nile mulai merangsang penonton untuk bergerak. Wall of death tercipta ketika lagu yang diambil dari album baru, “In The Name of Amun” dipresentasikan. Dallas sesekali menunjukkan ekspresi wajah bengis yang begitu menikmati musiknya. Setelah lagu ini selesai, Karl mengalami masalah teknis dengan gitarnya. “Saya pikir Karl merusak sesuatu. Kami memiliki kebiasaan buruk dalam merusak barang. Biasanya George yang senang merusak sesuatu, kali ini Karl,” ujar Dallas, tertawa. Karena cukup lama menunggu perbaikan teknis pada gitar Karl, Dallas berinisiatif melakukan solo gitar untuk menghibur penonton, tapi dalam beberapa detik ia hentikan kembali. “Kami bukan tipe band yang bermain solo, walaupun sedang bermain di festival Solo (Rock In Solo),” candanya.
Karl tersenyum membalas perkataan beberapa penonton yang memintanya untuk tidak merusak gitarnya lagi. Ia siap, agresi pun dilanjutkan dengan “The Howling of The Jinn”. Strategi penyelenggara untuk menjaga stamina penonton tampaknya tak sepenuhnya berhasil. Penonton mulai kehabisan energi dan beberapa yang di depan memilih mundur ketika 3 lagu terakhir mulai berjalan. Sudah tidak ada lagi gerakan-gerakan liar, hanya dua penonton yang terus melakukan headbang tanpa henti di baris depan yang sudah merenggang. Bahkan, beberapa di antaranya duduk dan tak sanggup lagi menanggapi derasnya musik Nile. Hingga akhirnya Nile menutup Rock In Solo 2015, sekaligus membuka era baru bagi festival ini, dengan hits “Black Seeds of Vengeance”. Terasa ada yang kurang dengan penampilan Nile, mereka tidak memainkan lagu yang mungkin paling terkenal di Indonesia, “Kafir!” Beberapa penonton berteriak-teriak meminta lagu itu dimainkan namun tidak digubris. Padahal lagu ini termasuk dari empat lagu yang selalu ada dalam setlist mereka.
Sukacita dan euforia sepanjang konser berlangsung menjadi kunci yang akan mengantarkan Rock In Solo untuk terus berjaya di era barunya. Tugas Rock In Solo ke depannya adalah untuk terus mempertahankan antusias penonton seperti ini. Berbagai pilihan band pengisi dan konsep acara akan terus menjadi tantangan bagi pihak penyelenggara ke depannya. Patut ditunggu, Rock In Solo 2016!
Subscribe to:
Posts (Atom)